Narasi Masa Lalu
Narasi masa lalu adalah lokus politik. Di dalamnya, narasi sejarah resmi yang mengagungkan keberhasilan rezim otoriter
senantiasa berhadapan dengan narasi korban, khususnya perempuan, yang membongkar banyak mitos dan fantasi yang
diproduksi rezim.
Seperti dikatakan sejarawan Hilmar Farid dalam lokakarya mengenai historiografi Indonesia di Yogyakarta beberapa
waktu lalu, narasi korban penting untuk memahami negara otoriter dengan pembangunan yang kapitalistik dan
kemungkinan mengubahnya.
"Kecenderungannya sekarang adalah menyelesaikan krisis politik dengan potensi mereproduksi modus-modus
otoritarianisme," ujar Agung Putri, Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam). "Ketika tak ada narasi lain
dari masa lalu dan tak ada usaha menuju ke situ, hal itu akan semakin mudah dilakukan."
Narasi korban peristiwa politik, khususnya peristiwa 1965, senantiasa berhadapan dengan kelompok, yang atas nama
apa pun terus berusaha menghentikan upaya itu.
Ini memperlihatkan upaya membentuk ingatan kolektif dan proses penerimaan identitas korban senantiasa diwarnai
ketegangan dan pertentangan. Baskara T Wardaya dari Pusat Sejarah dan Etika Politik Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta menunjuk pada pelarangan buku sejarah yang tidak segaris dengan narasi resmi.
Pembakaran buku belum lama ini, menurut Ketua Komnas HAM Ifdal Kasim, juga merupakan usaha mempertahankan
penafsiran tunggal sejarah. Juga ancaman, somasi, atau apa pun bentuknya yang dilayangkan kepada pihak-pihak yang
berupaya menelusuri masa lalu guna mendapatkan gambaran yang lebih padu mengenai sejarah bangsa ini.
Gambaran yang terobek itu adalah sejarah tentang Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), yang menurut ilmuwan politik
dari Universitas Cornell, AS, Ruth McVey, dihilangkan dari sejarah Indonesia meski berbagai fakta mengungkapkan,
sebelum tahun 1965 gerakan perempuan di Indonesia termasuk yang paling progresif di dunia.
Penelitian antropolog Belanda, Saskia E Wieringa, seperti dipaparkan dalam buku Penghancuran Gerakan Perempuan di
Indonesia (1999) menyimpulkan fitnah seksual 1965-1966 tentang kastrasi terhadap para jenderal dalam "pesta harum
bunga" itu tidak hanya bohong, tetapi juga menyatakan sesuatu tentang latar belakang oposisi seksual. Atas dasar itu,
konsepsi politik—dalam hal ini lahirnya Orde baru—bisa berlangsung.
Terus bersembunyi
Kebencian dan rasa jijik terhadap para mantan anggota Gerwani yang terus dikobarkan itu menciptakan situasi dramatis
yang berlangsung begitu panjang. Korban terus berupaya menyembunyikan identitasnya, bahkan kepada anggota
keluarga. Mereka menghindar dari sorotan media. Kalaupun bersedia mengungkapkan pengalamannya, mereka harus
membungkus identitasnya dengan ketat.
Hal ini bukan tidak beralasan. Rumah kontrakan almarhumah Sulami, salah satu tokoh Gerwani, dirusak massa tak lama
setelah namanya ditulis media sehubungan dengan kunjungan istri mantan Presiden Perancis, Ny Danielle Mitterand,
tahun 2000.
Sudjinah menolak ditulis profilnya di satu harian nasional ketika kumpulan cerita pendeknya, In Jakarta Prison, Life Stories
of Women Inmates diterbitkan Yayasan Lontar tahun 2000 karena takut tetangganya tahu siapa dirinya.
Padahal, menurut Agung Putri, ia adalah pelaku sejarah yang penting, khususnya dalam proses gerakan perempuan.
Sudjinah ikut berjuang dalam perang kemerdekaan. Ia berasal dari keluarga priayi Solo dan menyelesaikan studinya di
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Sudjinah mewakili Gerwani dalam berbagai konferensi internasional, termasuk WIDF, the Women’s International
Democratic Federation. Ia kemudian menjadi penerjemah di kantor pusat karena kemahirannya menguasai berbagai
bahasa asing.
Sudjinah ditangkap setelah ketahuan menyebarkan informasi tentang apa yang dilakukan Orde Baru terhadap Bung
Karno, kemudian diadili akhir tahun 1970-an bersama empat perempuan tokoh lainnya. Ia dihukum penjara 18 tahun.
"Isolasinya delapan tahun," ujar Nursyahbani Katjasungkana, aktivis dan anggota DPR yang merasa beruntung pernah
mendengarkan kisahnya secara langsung.
"Di situ ia membuat gambar-gambar di tembok dan mengajak gambar-gambar itu bicara," sambungnya. Aktivis Ita Nadia
kehilangan kata-kata untuk menggambarkan kejinya perlakuan terhadap Sudjinah selama ditahan dan dipenjara.
Setelah keluar dari penjara, Sudjinah kembali bekerja dengan memberi kursus bahasa Inggris secara privat. "Uangnya
untuk membantu teman-temannya yang hampir semuanya hidup dalam kesulitan. Dia sebenarnya tidak harus bekerja
karena ada bantuan dari adiknya di Belanda," kenang pekerja kemanusiaan dan hak asasi manusia, Ade Rostina
Sitompul.
Sudjinah ditolak oleh keluarganya di Solo dan hidup dengan teman-temannya di panti jompo. Ia tutup usia pada usia 80
tahun tanggal 7 September 2007 di Jakarta dengan membawa sejarah yang belum selesai diklarifikasi, kebenaran dari
perspektif korban yang belum seluruhnya bisa diungkapkan, dan stigma yang terus menempel.
Kebenaran alternatif
Upaya mempertemukan perempuan korban ’65 dengan anggota Kongres Wanita Indonesia (Kowani) serta Dharma
Wanita, seperti diprakarsai Komnas Perempuan beberapa waktu lalu, juga tidak mudah. Mereka tampaknya masih
enggan berhadapan dengan para perempuan korban yang sudah sangat sepuh.
Bukan berarti upaya rekonsiliasi berhenti meski Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang
merupakan inisiatif negara sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi.
"Prakarsa-prakarsa rekonsiliasi di tingkat akar rumput seperti dilakukan teman-teman Syarikat Indonesia di Yogyakarta
dan oleh Komisi Sejarah akan menjadi alternatif dalam pencarian kebenaran masa lalu. Hanya dengan cara ini kekerasan
dan dendam bisa diputus," kata Ifdal.
0 Response to "Narasi Masa Lalu"
Posting Komentar