Memaknai Peristiwa Hidup

“Every adversity, every unpleasant circumstance, every failure, and every physical pain carries with it the seed of an
equivalent benefit”.
(Ralp Waldo Emerson)

Kalimat bijak diatas mungkin sangat mudah dimengerti. Tetapi ketika mengalami kegagalan maka hanya sedikit individu
yang bisa mengaplikasikan makna yang terkandung dalam kalimat tersebut. Sama halnya dengan kata bijak yang lain:
"Kegagalan adalah sukses yang tertunda". Benarkah?

Gagal & Sukses

Jika kita mengacu pada kisah kehidupan orang sukes yang kita kenal dan diperkenalkan oleh sejarah maka cenderung
diperoleh kesimpulan yang sama bahwa kegagalan adalah peristiwa potensial yang bersifat netral, ‘hidden potential
events’ yang tidak memiliki makna tertentu kecuali setelah diberi pemaknaan oleh kita: nasib, takdir, siksaan, cobaan,
tantangan atau pelajaran. Apapun makna yang dibubuhkan pada akhirnya akan kembali pada formula bahwa hidup ini
lebih pada memutuskan pilihan dan merasakan konsekuensi.

Berdasarkan hidden potential events tersebut maka bisa dimengerti jika Abraham Lincoln baru mencapai cita-cita
politiknya pada usia 52 tahun; Soichiro Honda yang sampai cacat tangannya gara-gara mendesain piston; atau Werner
Von Braun penemu roket yang menyebut angka kegagalan 65.121 kali. AMROP International, perusahaan pencari
eksekutif senior yang berkantor di 78 negara di dunia termasuk Indonesia, pernah mengeluarkan catatan tentang fluktuasi
emosi pencari kerja dari sejak di-PHK sampai menemukan pekerjaan baru. Dihitung, fluktuasi naik-turun itu terjadi
sebanyak 26 kali dengan asumsi waktu minimal enam bulan.

Pendek kata, gagal dan sukses adalah ritme hidup yang tidak terpisah dari kehidupan semua orang. Lalu apa pembeda
antara perjuangan tiada akhir (unstoppable) yang menghasilkan para "pengubah" dunia dengan perjuangan yang
dikalahkan rasa putus asa karena kegagalan yang barangkali terjadi hanya sepersekian persen?

Menyikapi Kegagalan

Penyikapan individu pada momen di mana kegagalan terjadi dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Membiarkan
Model penyikapan ini adalah menerima kegagalan dengan kualitas yang rendah berupa membiarkan saja semua terjadi.
Sikap ini dihasilkan dari mentalitas yang rendah untuk mendobrak keadaan karena tidak memiliki kemauan yang
dibangkitkan di dalam untuk menemukan penyebab yang rasional. Bisa jadi kemauan itu erat kaitannya dengan level
pengetahuan dan harapan yang dimiliki orang. Karena jawaban rasional tidak ditemukan, maka cara tunggal yang
digunakan untuk memaafkan sikap demikian adalah menempatkan kegagalan dalam wilayah hidup yang tak tersentuh
oleh upaya dirinya dengan meyakini titah takdir atau nasib.

2. Menolak
Model penyikapan kedua adalah menolak kegagalan.Penolakan itu dilakukan dalam bentuk menyalahkan orang lain,
keadaan atau Tuhan sekalipun, karena dirasakan tidak adil memberi perlakuan. Biasanya penolakan itu terjadi akibat
keseimbangan hidup yang kurang mendapat perhatian di tingkat intelektual, emosional atau spritual. Meskipun kegagalan
dapat dilumpuhkan, tetapi akibat penolakan yang dilakukan, keseimbangan antara usaha dan hasil tidak sebanding. Jika
diambil perumpaan maka model hal ini adalah ibarat orang membunuh nyamuk dengan sepucuk pistol.

3. Menerima
Model penyikapan ketiga adalah yang paling ideal yaitu menerima kegagalan dengan kualitas yang tinggi. Di sini
kegagalan adalah materi pembelajaran-diri atau kurikulum pendidikan situasi. Daam hal ini tentu saja bukan berarti
bahwa semakin banyak kegagalan semakin bagus tetapi yang ingin difokuskan adalah bagaimana individu menempatkan
kegagalan sebagai proses yang menyertai realisasi gagasan. Bisa jadi fakta fisik menunjukkan peristiwa yang belum /
tidak berjalan seperti yang diinginkan oleh perencanaan akan tetapi orang seperti Edison atau orang lain yang bermazhab-
hidup sama merebut tanggung jawab untuk mengubah hidup dari cengkraman fakta fisik temporer itu. Seperti dikatakan
Dr. Denis Waitley: "There are two primary choices in life: to accept conditions as they exist, or accept the responsibility for
changing them."

Munculnya penyikapan yang beragam di atas tidak terjadi secara take for granted begitu saja tetapi dibentuk oleh sekian
faktor antara lain:

a. Lingkungan
Termasuk dalam kategori lingkungan adalah keluarga, masyarakat dan bangsa di mana kita menjadi salah satu
komponen yang ikut mempengaruhi dan dipengaruhi. Kualitas model penyikapan lingkungan terhadap persoalan hidup
secara umum tergantung tingkat pendidikan, nilai kebudayaan, atau peradaban yang membentuknya. Orang yang
dibesarkan oleh lingkungan berbeda bagaimana pun punya format pandangan berbeda tentang persoalan hidup.

b. Sistem Struktural
Selain lingkungan, faktor sistem struktural yang mengatur organisasi, lembaga, atau perkumpulan sosial tertentu juga
ikut andil terutama membentuk karakter mentalitas individu dalam menghadapi hidup dan kegagalan pada khususnya.
Mentalitas tinggi akan membentuk kepribadian di mana seseorang menjadi ‘the cause’ dari peristiwa hidup sementara
mentalitas rendah akan membentuk kepribadian sebagai ‘the effect’.

c. Personal
Meskipun tidak bisa dinafikan pengaruh yang dimiliki oleh faktor lingkungan dan sistem struktural, tetapi pengaruh
tersebut hanya bersifat menawarkan dan hanya faktor personal-lah yang menentukan keputusan. Sudah jelas kita
rasakan, tidak semua pengaruh itu murni negatif atau positif sehingga peranan terbesar terdapat pada kemampuan kita
untuk menghidupkan tombol ‘seleksi’ dan ‘pengecualian’ dalam memilih model penyikapan untuk mendukung di antara
yang bekerja untuk merusak atau mandul.

Memaknai Kegagalan

Tidaklah benar jika dikatakan bahwa ketidakmampuan seseorang mengambil manfaat dari hidden potential yang terjadi
dalam suatu peristiwa yang menyebabkan kegagalan semata-mata karena faktor negatif yang diwariskan oleh lingkungan
atau sistem struktural yang ada dalam masyarakat. Justru yang dibutuhkan adalah bagaimana kita menciptakan model
penyikapan ketiga yang dihasilkan dari pemahaman tentang cara kerja hidup dan dunia. Dalam hal memaknai kegagalan,
kesengsaraan, atau peristiwa menyakitkan lainnya, maka langkah-langkah yang kemungkinan besar dapat membantu
adalah:

1. Menciptakan Kondisi

Makna tidak datang sendiri tetapi sebagai hasil yang diciptakan oleh usaha untuk menemukannya, dalam arti menciptakan
kondisi dengan kesadaran bahwa kita sedang menjalani pendidikan situasi untuk mematangkan diri. Kualitas
conditioning akan sebanding dengan benefit yang tersimpan di baliknya. Sebelum Ir. Ciputra bercerita riwayat hidupnya
dari kecil, rasanya semua orang membayangkan betapa enaknya menjadi sosok yang menyandang sebutan maestro
property Indonesia atau Asia Pasifik. Tetapi dengan pengakuan bahwa dirinya adalah manusia yang tidak tahu di mana
seorang ayah dimakamkan oleh penjajah kala itu yang akhirnya membuat Ciputra kecil berusia 12 tahun harus hidup
tanpa bimbingan ayah, barulah kita sadar bahwa balasan yang diterimanya sekarang ini adalah balasan setimpal. Bocah
kecil bernama Ciputra harus jalan kaki sepanjang 7 km karena tujuannya menyelesaikan sekolah dasar. Kata kuncinya
bukan pada kematian seorang ayah di sel penjara penjajah akan tetapi kesadaran bahwa dirinya harus merumuskan
tujuan, visi, dan misi hidup seorang diri. Andaikan situasi serupa dihadapi oleh kita sendiri, belum tentu kita berani buru-
buru membayangkan alangkah enaknya menjadi sosok Ir. Ciputra.

2. Menciptakan Perbedaan

Model penyikapan ketiga yang membedakan model pertama dan kedua pun juga tidak disuguhkan tetapi diciptakan oleh
kualitas pembeda dalam mengembangkan sembilan sumber daya inti di dalam diri yaitu:
Sumber daya material: fisik, raga
Sumber daya intelektual: nalar
Sumber daya emosional: sikap perasaan
Sumber daya spiritual: hati, rohani
Sumber daya mental: daya dobrak
Sumber daya visual: imajinasi
Sumber daya verbal: komunikasi
Sumber daya social: relationship
Sumber daya dukungan eksternal: lingkungan dan sistem struktural
Banyak hal-hal kecil yang dapat membantu memperbaiki model penyikapan tetapi luput untuk dijalankan karena sifat
manusia yang ingin ‘jump to conclusion’ mendapatkan hasil yang besar. Di antaranya adalah kesadaran mendengarkan
musik, olah raga, membaca, doa, meditasi, relaksasi senyuman, tepuk tangan atas keberhasilan orang lain, dan lain-lain.

3. Menggunakan Kemampuan Baru

Hasil akhir dari pembelajaran diri dengan menjalani pendidikan situasi adalah memiliki kemampuan baru, baik
kemampuan hardware skill dan software skill atau makna lain yang anda temukan. Tetapi balasan setimpal dari situasi
yang kita rasakan menyakitkan adalah menggunakan kemampuan tersebut untuk menambah nilai plus, competitive
advantage, diri kita bagi orang lain. Salah seorang yang pernah berhasil menggunakan kemampuan baru itu adalah prof.
Hamka. Mungkin – ini hanya pengandaian – kalau tidak dijebloskan ke penjara, buku tafsir yang menjadi karya fenomenal
Hamka tidak pernah rampung. Kalau tidak pernah bangkrut yang membuatnya hidup menggelandang sampai usia 40
tahun, mungkin karya berseri berjudul “The Chicken Soup for Soul” yang saat ini banyak terpampang di sejumlah toko
buku di dunia tidak akan dihasilkan oleh Mark Victor Hensen.
Tentu bukan penjara atau hidup menggelandang yang membuat kedua sosok di atas merasakan balasan setimpal, tetapi
pembelajaran diri dalam memaknai setiap peristiwa hidup yang terjadi justru menjadi kunci untuk mengembangkan
sumber daya di dalam diri masing-masing dan hasilnya digunakan demi kesejahteraan orang banyak.
Akhir kata, sebaik-baiknya seseorang maka akan sangat baik jika ia dapat belajar dan mengambil hikmah dari setiap
peristiwa hidup guna memberikan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Selamat menemukan makna dari peristiwa
hidup yang anda alami guna menciptakan competitive advantage bagi diri sendiri dan bermanfaat bagi kesejahteraan
orang banyak.(jp)

Fenomena “Oedipus Complex”

Diskusi hangat mengenai hal tersebut terjadi dalam sebuah kelas Psikologi pada saat membahas konsep oedipus
complex dan electra complex. Mahasiswa menjadi asyik membahas beberapa kasus yang mereka jumpai.

Menurut mereka, dibanding electra complex, tampaknya fenomena menyerupai oedipus complex lebih banyak terjadi.
Mereka ingin tahu bahwa cukup banyak pria dewasa yang masih bergantung pada ibunya, dan apakah itu dapat disebut
gejala oedipus complex.

Kompetisi dengan Ayah

Oedipus complex adalah istilah Sigmund Freud untuk menggambarkan kecenderungan anak laki-laki usia 3-5 tahun
(masa phallic) berkompetisi dengan ayahnya untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang ibu; dan dorongan seksual
terhadap ibu dikendalikan karena rasa takut akan hukuman dari ayah. Pada anak laki-laki, ketakutan terhadap ayah tersebut
mewujud dalam ketakutan akan dipotong penisnya (castration complex).
Sementara itu, electra complex merupakan keadaan yang sama dengan oedipus complex, tetapi terjadi pada anak
perempuan.

Konsep oedipus complex dan electra complex merupakan bagian dari penjelasan Freud mengenai tahapan-tahapan
perkembangan kepribadian (dari lahir hingga akil balik) yang tidak lepas dari adanya libido.

Libido (dorongan erotis-biologis) menurut ahli Psikoanalisis ini tidak muncul secara mendadak pada masa pubertas,
melainkan sudah ada sejak lahir dan perwujudannya berbeda-beda menurut tahapan usia. Teori perkembangan dari Freud
ini disebut teori perkembangan Psikoseksual.

Dalam teori perkembangan tersebut dinyatakan bahwa seseorang dapat gagal mengatasi konflik yang terjadi dalam tiap-
tiap tahapan (oral, anal, phallic, latency, genital). Perkembangannya berhenti dalam tahap tersebut hingga dewasa. Jadi,
bila seorang anak pada masa phallic tidak berhasil mengatasi oedipus complex, akan terbawa terus hingga dewasa.

Namun, teori perkembangan Psikoseksual dari Freud tersebut ditentang oleh tokoh-tokoh Psikoanalisis yang lain. Mereka
menolak anggapan libido merupakan hal yang mendasari perilaku dan perkembangan kepribadian. Memang, teori tersebut
dibangun Freud atas dasar kasus-kasus klinis yang ditanganinya sebagai psikiater, sehingga tidak mencerminkan
perkembangan individu yang normal.

Fenomena Anak Mami

Dalam memahami fenomena ”laki-laki anak mami”, kita tidak dapat begitu saja berpegang pada konsep oedipus complex
bila dipahami dalam konteks teori Freud (libido mendasari perilaku).

Kita tidak menafikan kenyataan bahwa kasus-kasus incest (hubungan seksual antara anak dan orangtua) terjadi dalam
masyarakat, tetapi gejala ”laki-laki anak mami” biasanya tidak sampai pada relasi, bahkan dorongan seksual.

Salah satu kasus adalah pria berusia 35 tahun yang baru saja menikah. Sebutlah namanya Jojo, dosen fakultas ekonomi
sebuah perguruan tinggi. Sang istri adalah mantan mahasiswanya. Proses menuju pernikahan berlangsung alot, meski
sebenarnya hubungan mereka telah menghasilkan seorang anak laki-laki berusia 3 tahun. Pasalnya ibu Jojo kurang
merestui hubungan mereka.

Bagi ibu Jojo (didukung penuh oleh Jojo), meski merupakan wanita baik-baik, Juli (pasangan Jojo) bukanlah pilihan ideal
karena berasal dari ras yang berbeda. Juli harus merana sekian lama, membesarkan bayinya sendiri di sebuah kota kecil,
disokong oleh sang ayah yang sudah lanjut usia (ibunya sudah wafat).
Saat bayi lahir di rumah sakit, sempat terjadi rebutan antara keluarga Jojo dan Juli. Setelah mengetahui Juli melahirkan
bayi yang sehat dan menarik, keluarga Jojo mulai mendekati Juli dengan maksud agar mereka dapat memiliki anak
tersebut.

Akhirnya proses menuju perkawinan mulai dibicarakan meski Jojo selalu mengatakan sangat berat kalau harus menikahi
Juli. Sejak awal hubungan mereka terseok-seok. Jojo sering mengatakan Juli ”tidak ada apa-apanya” buat dia. Sebaliknya
ia selalu memuji ibu dan adik perempuannya. Ia bahkan sering melontarkan sumpah serapah penghuni kebun binatang
untuk Juli.

Juli sempat merasa sangat tidak berdaya dan takut menghadapi perkawinannya. Jojo mengharuskan keluarga Juli pun
patuh sepenuhnya pada rancangan ibu Jojo. Rencana Juli kuliah S2 (atas biaya sang ayah) dan membangun usaha
terancam batal karena ibu Jojo menginginkan Juli bekerja di kantor orang.

Sering ia mengajak berkonsultasi dengan rohaniawan, tetapi Jojo bilang, ”Semua konselormu nggak ada yang bener.”
Akhirnya Juli toh menemukan kekuatan. Meski pasangannya tetap berperilaku negatif, ia sudah cukup kuat dan mengerti
bagaimana menyikapinya. Itulah sebabnya ia memutuskan menikahi Jojo.

Sulit Mendapat Pasangan
Masih banyak kasus lain yang menunjukkan hubungan lekat ibu dengan anak lelakinya yang sangat eksklusif hingga
dewasa. Kasus lain yang unik terjadi pada pria lajang berusia 40-an tahun. Ia sulit menemukan jodoh karena terobsesi
akan ibunya. Ia terus menjadikan ibunya sebagai pusat hidupnya.

Setelah ibunya sakit, meskipun ada saudara-saudara lain yang dapat mengurus, ia tetap mengambil tanggung jawab,
termasuk memandikan. Ia memperlakukan ibunya seperti benda kesayangan yang mudah pecah, yang harus terus dijaga.
Sementara wanita lain yang sempat dekat dengannya dituntut untuk menjadi seperti ibunya.

Pria-pria yang tak sanggup lepas dari ibu umumnya sulit mendapatkan pasangan. Ia akan menuntut pasangannya sama
dengan ibunya. Mereka tidak mampu memberikan cinta secara dewasa karena sebenarnya mengalami fiksasi dalam
perkembangan, yakni tetap menjadi anak-anak yang memerlukan kasih sayang dan perlindungan dari ibunya.
Dalam menjalin hubungan cinta dengan wanita lain, cinta yang diberikannya berupa cinta kanak-kanak yang masih bersifat
egoistis. Konflik akan sering terjadi bila hubungan dengan pria semacam itu dilanjutkan ke jenjang perkawinan.

Konsep Kerja Cerdas

Mula-mula ekonom Itali bernama Vilfredo Pareto (1848 - 1923) itu baru setengah kaget dengan hasil penelitiannya. Bahwa
80% kekayaan negara hanya dinikmati oleh 20% kelompok tertentu dari penduduk. Dengan kata lain, 80% dari penduduk
hanya berkesempatan menikmati 20% dari kekayaan negara. Katakanlah kalau diasumsikan jumlah penduduk
seluruhnya mencapai 100 juta jiwa, berarti hanya 20 juta jiwa yang kaya raya dengan mendapat 80% kekayaan negara.
Sisa penduduk yang berjumlah 80 juta jiwa hidup pas-pasan karena kue negara yang hanya 20% harus dibagi-bagi.
Karena setengah kaget dengan hasil penelitian tersebut, Pareto kemudian mengadakan penelitian di lain negara, ternyata
hasilnya sama atau hampir sama.

Hasil penelitian Pareto ini sejak tahun 1897 akhirnya diresmikan menjadi sebuah rumus atau formula dengan berbagai
macam nama: Pareto Principle; The Pareto Law; The 80/20 rule; The Principle of Least Effort; atau The principle of
Imbalance. Konon karena Pareto dinilai kurang artikulatif dalam menjajakan temuannya ini berdasarkan perkembangan
metodologi dan konteks penelitian, akhirnya mendorong para pakar untuk ikut terjun melengkapi rumus atau temuan
yang dinilai sangat berguna bagi pencerahan peradaban manusia ini. Tahun 1949, George K Zipf, seorang professor dari
Harvard University, mengembangkan wilayah penelitian dengan menjadikan temuan Pareto sebagai acuan. Hasilnya
bahwa manusia, benda-benda, waktu, keahlian, atau semua alat produksi telah memiliki aturan alamiah yang berkaitan
antara hasil dan aktivitas dengan jumlah perbandingan mulai dari 80/20 atau 70/30. Contoh:

Karena dianggap memberi pencerahan, rumus tersebut lalu diterapkan ke dalam pengembangan pribadi . Ternyata para
pakar di bidangnya masing-masing menemukan sesuatu yang kira-kira sama dengan temuan Pareto. Artinya jika bicara
hasil, ketepatan proses, dan kualitas maka hal-hal tersebut erat hubungannya dengan how well atau how good are you
doing, bukan how often dan how long. Dengan kata lain hasil yang diperoleh ditentukan sejauhmana anda bisa bekerja
secara cerdas.

Beberapa contoh:
Dalam dunia bisnis, untuk merebut pasar anda harus berpikir minimalistis dalam arti ketepatan strategi yang tidak
melebihi kebutuhan pasar. Artinya temukan 20% dari strategi yang bisa merebut 80% daya tarik pasar dengan memberi
80% premiun solusi kepada 20% pelanggan setia. Jangan mengobral strategi yang justru menghabiskan 80% cost
padahal hanya akan menciptakan 20% rate of return (Mack Hanan, dalam Fast Growth Strategy, McGraw-Hill International,
Singapore, 1987).

Penelitian dalam hal efektivitas dan efisiensi waktu menemukan bahwa 80% prestasi seseorang di bidang apapun diraih
dari 20% waktu yang dikeluarkan. Dan 80% kebahagian hidup ditentukan dari 20% waktu yang digunakan untuk
mencarinya. Tanyalah pada diri anda, berapa jumlah waktu yang benar-benar anda gunakan dalam kaitan dengan tujuan
anda pergi ke kantor selain waktu macet, ngobrol, atau melamun, atau membicarakan persoalan lain dengan kawan
kerja? Jika jawaban anda ternyata menggunakan rumus yang sebaliknya maka anda tidak memiliki perbedaan dengan
orang lain dan itu smaa artinya bahwa anda belum menerapkan cara kerja cerdas.

Aplikasi Kerja Cerdas

Sebagai bangsa yang agamis sekaligus kaya budaya leluhur, sebenarnya seruan kerja cerdas ini bukanlah barang baru.
Tetapi persoalannya lagi - lagi berupa tools yang tidak di-update. Selain disampaikan dengan "bahasa langit" yang
seringkali menafikan proses pemahaman secara ilmiah dan alamiah pun juga tidak dilakukan elaborasi kontekstual.
Akibatnya pemahaman tentang ajaran agama dan budaya hanya bekerja pada persoalan yang bersifat minoritas dalam
kehidupan nyata. Sebelum Pareto mengumumkan hasil penelitiannya dengan formula 80/20, kita sudah diajarkan
menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan mubazir atau yang tidak perlu. Sayangnya, ajaran mubazir yang kita pahami
hanya sebatas kalau kita membuang makanan yang tersisa. Amat jarang kita berpikir mubazir secara profesi, ekonomi,
atau strategi.

Untuk menjauhkan diri dari tindakan yang mubazir dalam kaitan dengan realisasi kerja cerdas harus dimulai dari
langkah-langkah berikut:
1. Fokus pada skala pengembangan
Jika anda yakin bahwa diri anda memiliki keunggulan atau bakat alamiah, disamping memiliki kelemahan yang
diakibatkan oleh faktor heriditas atau lingkungan, maka yang benar-benar anda butuhkan adalah hidup dengan
keunggulan tersebut secara cerdas (living with the advantage competitive factors). Hanya jika anda menemukan strategi
hidup dengan keunggulan, maka anda akan keluar dari batas rata-rata prestasi lingkungan. Sebelum itu, paling maksimal
yang bisa anda capai adalah kualitas hidup seperti orang lain atau seperti yang diraih oleh sepuluh orang yang anda
kenal paling dekat. Lalu ke mana keunggulan tersebut diarahkan? Jelas, keunggulan itu harus diarahkan untuk
mengoptimalkan apa yang disebut dalam rumusan Pareto dengan 20% of determining factors (factor penentu). Oleh
karena itu, temukan apa saja yang menjadi faktor penentu keberhasilan anda dari sekian daftar kegiatan yang anda
lakukan dalam hidup. Tinggalkan hal-hal yang tidak perlu dan fgokuskan hanya pada hal-hal yang berpotensi untuk
pengembangan diri.

2. Berani Berkorban
Di dalam dunia yang sebesar ini terdapat sekian banyak "persoalan kecil" yang kalau anda tidak berani berkorban untuk
memaafkannya bisa jadi persoalan itu akan mendominasi muatan pikiran anda yang akhirnya bisa membuat anda
melupakan sisi keunggulan, cita-cita, fokus pengembangan diri, dan lain-lain. Contoh yang paling sederhana dan sering
terjadi di depan mata kita adalah ketika sedang di jalan raya. Di luar dari persoalan tabrakan serius, terkadang hanya
karena mobilnya tersenggol sedikit saja orang rela membuang banyak waktu dan kebahagiannya pergi ke kantor. Bahkan
bisa berkembang ke arah baku hantam. Padahal kalau dimaafkan (mau berkorban sedikit dengan kehilangan uang
beberapa ratus ribu saja untuk memperbaiki mobil yang lecet), maka semua urusan selesai.
Auditlah pikiran anda, persoalan apa saja yang kalau anda memaafkannya tidak akan merugikan anda secara misi atau
visi dan tidak mengganti isi pikiran anda dengan muatan negatif. Untuk mengetahui apakah persoalan yang sedang anda
hadapi tidak akan merugikan anda , gunakan standard audit berikut:
Apa saja yang menurut anda menjadi prioritas utama dalam kehidupan
Apa saja yang menurut anda didefinisikan sebagai persoalan penting dan tidak penting
Apa saja yang menurut anda didefinisikan sebagai persoalan darurat dan tidak darurat yang bisa jadi tidak penting dan
tidak prioritas
Apa saja yang menurut anda didefinisikan sebagai persoalan "sampah" - tidak penting, tidak mendesak dan bukan
prioritas utama. Namun dalam hal ini anda perlu menyeleksi secara ketat dan hati-hati, sebab bahayanya kalau anda
secara mudah memasukan persoalan ke tong sampah ini maka anda bisa terjebak untuk meninggalkan misi atau fokus
hidup hanya karena alasan mempertahankan posisi atau kondisi yang ada. Jika anda terjebak maka akhirnya rumus yang
terjadi bukanlah 80/20 tetapi sebaliknya.

3. Membuat Sekat Pembatas
Pada akhirnya anda harus menentukan batasan-batasan tentang apa yang ingin dicapai, bagaimana mencapainya, apa
modal yang dimiliki, dan akan kemana anda mengarahkan hidup anda. Dalam proses inilah terjadi seleksi dan
pengecualian. Dari sekian luas dunia dan isinya, apa saja yang telah anda seleksi menjadi hal yang benar-benar anda
inginkan sesuai format pondasi personal anda seperti: kiblat hidup, cita-cita, tujuan, target dan tindakan.
Semakin jelas anda memiliki format seleksi dan pengecualian, fokus pada pengembangan diri diiringi keberanian
berkorban dengan memahami, mengakui, membuang sesuatu yang tidak dibutuhkan dalam diri anda, maka akan
semakin jelas wilayah dunia yang menjadi "hak" anda sehingga semakin tersimpulkan apa yang menjadi determining
factors to success itu. Artinya faktor penentu semakin sedikit dan semakin sederhana dan biasanya yang sederhana itu
justru akan bisa bekerja optimal. Sementara yang cenderung pelik, ruwet dan kompleks biasanya mandul. Semoga
berguna.

Memilih Jurusan di Perguruan Tinggi

Ujian Nasional sudah diselenggarakan dan berikutnya adalah merencanakan dan menentukan langkah selanjutnya.
Apakah mau masuk perguruan tinggi, jurusan apa yang dipilih, dsb. Bagi anak yang sudah mengetahui apa bakat dan
minatnya dan terbiasa mengambil keputusan sendiri, tidak banyak mengalami kendala dalam memilih jurusan.
Masalahnya di masa ini banyak siswa SMA yang sulit ambil keputusan karena tidak tahu apa bakat dan minatnya, dan
banyak yang belum menemukan potensi dirinya, tidak terbiasa mengambil keputusan sendiri bahkan untuk hal-hal yang
terkait dengan kepentingannya, sehingga bingung ketika harus memilih jurusan dan perguruan tinggi. Belum lagi gaya
ikut-ikutan teman agar ketika kuliah sudah memiliki teman yang telah dikenal, atau juga karena mengikuti pacar.
Kebingungan siswa ada pula yang disebabkan sikap orang tua yang memaksakan anak memilih jurusan yang ditentukan
orang tua, bukan kemauan dan minat anaknya.

Dampak Dari Salah Memilih Jurusan

Banyak orang berpandangan, pilihlah jurusan yang gampang (gampang masuk dan gampang lulus), supaya gampang
dapat pekerjaan dan gajinya besar, regardless sesuai minat atau tidak. Sebenarnya pandangan ini perlu ditinjau ulang
karena memilih suatu jurusan bukanlah persoalan yang mudah. Dalam memilih jurusan, siswa perlu memperhitungakan
beberapa faktor seperti kemampuan, minat, bakat, kepribadian, dll. Salah memilih jurusan punya dampak yang signifikan
terhadap kehidupan anak di masa mendatang. Apa saja dampaknya ?

Problem psikologis

Mempelajari sesuatu yang tidak sesuai minat, bakat dan kemampuan, merupakan pekerjaan yang sangat tidak
menyenangkan, apalagi kalau itu bukan kemauan / pilihan anak, tapi desakan orang tua. Belajar karena terpaksa itu akan
sulit dicerna otak karena sudah ada blocking emosi. Kesal, marah, sebal, sedih, itu semua sudah memblokir efektivitas
kerja otak dan menghambat motivasi. Anak kemungkinan akan berusaha setengah mati supaya hasilnya baik, but at the
cost of his/her being. Dia mengabaikan panggilan hidupnya, perasaannya, demi orangtua. Kepahitan dan kegetiran,
marah, penyesalan dan penasaran bisa jadi membayangi setiap langkah hidup anak. Akan tambah sedih lagi ketika dia
melihat teman-temannya bisa berbahagia di atas kehidupan yang mereka pilih sendiri. Kalau anak yang dari keluarga
berduit, bisa saja dengan mudahnya pindah kuliah, tapi buat mereka yang ekonominya pas pas-an, ini bisa menjadi
dilemma berat. Kalau tidak ikut saran orang tua, anak merasa bersalah karena orang tua sudah susah-susah membiayai
kuliah, tapi kalau mengikuti kehendak orang tua, anak tertekan karena mengabaikan panggilan jiwa. Memilih jurusan
sesuai dengan saran teman atau trend, padahal tidak sesuai dengan minat diri juga punya dampak psikologis, yakni
menurunnya daya tahan terhadap tekanan, konsentrasi dan menurunnya daya juang. Apalagi kalau pelajaran kian sulit,
masalah semakin bertambah, bisa menyebabkan kuliah terancam terhenti di tengah jalan.

Problem akademis

Problem akademis yang bisa terjadi jika salah mengambil pilihan, seperti prestasi yang tidak optimum, banyak
mengulang mata kuliah yang berdampak bertambahnya waktu dan biaya, kesulitan memahami materi, kesulitan
memecahkan persoalan, ketidakmampuan untuk mandiri dalam belajar, dan buntutnya adalah rendahnya nilai indeks
prestasi. Selain itu, salah memilih jurusan bisa mempengaruhi motivasi belajar dan tingkat kehadiran. Kalau makin sering
tidak masuk kuliah, makin sulit memahami materi, makin tidak suka dengan perkuliahannya akhirnya makin sering bolos.
Padahal, tingkat kehadiran mempengaruhi nilai.

Problem relasional

Salah memilih jurusan, membuat anak tidak nyaman dan tidak percaya diri. Ia merasa tidak mampu menguasai materi
perkuliahan sehingga ketika hasilnya tidak memuaskan, ia pun merasa minder karena merasa dirinya bodoh, dsb hingga
dia menjaga jarak dengan teman lain, makin pendiam, menarik diri dari pergaulan, lebih senang mengurung diri di kamar,
takut bergaul karena takut kekurangannya diketahui, dsb. Atau, anak bisa jadi agresif karena kompensasi dari inferioritas
di pelajaran. Karena dia merasa kurang di pelajaran, maka dia berusaha tampil hebat di lingkungan sosial dengan cara
missal, mendominasi, mengintimidasi anak yang dianggap lebih pandai, dsb.

Bagaimana Memilih Jurusan Agar Tepat?

Memilih jurusan pada dasarnya merupakan sebuah proses yang sudah dimulai sejak masa anak-anak. Kesempatan,
stimulasi, pengalaman apa saja yang diberikan pada anak sejak kecil secara optimum dan konsisten, itu akan menjadi
bekal, modal dan fondasi minat dan bakatnya. Makin banyak dan luas exposure-nya, makin anak tahu banyak tentang
dirinya, tapi makin sedikit exposure nya, makin sedikit juga pengetahuan anak tentang dirinya. Menurut Gunadi et al (2007),
ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemilihan jurusan agar jurusan yang dipilih tepat, yaitu:

Mencari informasi secara detil mengenai jurusan yang diminati. Sebelum memilih jurusan, hendaknya anak punya
informasi yang luas dan detil, mulai dari ilmunya, mata kuliahnya, praktek lapangan, dosen, universitasnya, komunitas
sosialnya, kegiatan kampusnya, biaya, alternative profesi kerja, kualitas alumninya, dsb.Menyadari bahwa jurusan yang
dipilih hanya merupakan salah satu anak tangga awal dari dari proses pencapaian karir.

Anak perlu tahu realitanya, bahwa jurusan yang dipilih tidak menjamin kesuksesan masa depannya. Jangan dikira bahwa
dengan kuliah di jurusan tersebut maka hidupnya kelak past sukses seperti yang di iklankan.

Jurusan yang dipilih sebaiknya sesuai dengan kemampuan dan minat siswa yang bersangkutan. Jika seorang siswa
memilih jurusan sesuai dengan kemampuan dan minatnya, maka dirinya akan mampu bertahan dalam menghadapi
kesulitan-kesulitan selama kuliah, namun jika dirinya tidak memiliki kemampuan dan minat dalam jurusan yang dipilih,
bisa mempengaruhi motivasi belajar seperti yang telah dijelaskan di atas.

Berpikiran jauh ke depan melihat konsekuensi dari setiap pilihan, apakah mampu menjaga komitmen dan konsekuensi
kerja sebagai akibat dari pilihan itu? Di setiap pilihan pasti ada konsekuensi profesi, jangan sampai ingin punya status
tapi tidak ingin menjalani konsekuensinya. Jangan sampai ingin jadi dokter tapi tidak siap mendapatkan panggilan
mendadak tengah malam dari pasiennya; ingin jadi tentara tapi takut berperang; ingin jadi guru tetapi tidak sabar / tidak
senang disuruh menghadapi anak murid. Jadi, kalau sudah punya cita-cita, siapkan mental, fisik dan komitmen untuk mau
belajar menghadapi tantangannya.

Jurusan yang dipilih sebaiknya sesuai dengan cita-cita anak. Setiap anak pasti memiliki cita-cita. Jika anak bercita-cita
menjadi psikolog maka sebaiknya memilih jurusan psikologi bukan jurusan sosiologi atau yang lainnya. Jika ingin
menjadi dokter, ya harus mengambil kuliah kedokteran. Pelajari bidang studi yang mempunyai beberapa proses.

Misalnya, anak kelak ingin menjadi dokter bedah, maka terlebih dahulu harus menjalani kuliah di kedokteran umum.
Menyiapkan beberapa alternatif. Alangkah baiknya jika anak memiliki lebih dari satu alternative untuk menjaga jika dirinya
tidak masuk di alternative pertama, maka masih ada kesempatan di alternative berikutnya. Pemilihan alternative studi
harus pun diupayakan yang masih sesuai dengan minat dan kemampuan anak, bukan karena pilihan yang paling besar
kemungkinan diterima padahal tidak sesuai minat.

Mengoptimalkan peran sekolah, guru dan guru Bimbingan Konseling

Dukungan bagi anak selain dari orang tua, juga di peroleh dari guru di sekolah, baik guru kelas, guru mata pelajaran
maupun guru bimbingan konseling. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pihak guru untuk membantu
mengarahkan anak didik mereka kelak dalam menentukan pilihan bidang studi / jurusan :

Mengamati dan mencermati perkembangan kemampuan intelektual murid. Kemampuan intelektual sangat penting di
masa kuliah, agar mudah menangkap materi dan meminimalisir hambatan yang berat. Kemampuan intelektual ini
biasanya dapat dilihat dari prestasi belajarnya selama di sekolah mulai dari catur wulan awal. Guru kelas bekerja sama
dengan guru bimbingan konseling memonitor perkembangan anak didik agar masalah yang terjadi di tengah jalan dapat
di tangani sebelum menjadi masalah yang berat.

Memberikan tes minat bakat menjadi salah satu cara untuk mengeksplorasi minat dan bakat anak. Tes minat bakat
biasanya dilakukan ketika anak masih belum dapat memutuskan ke mana minat dan bakatnya sementara banyak
alternative jurusan yang dapat dia pilih.

Memberikan penjelasan pada orang tua mengenai pemilihan jurusan dan bentuk dukungan untuk anak. Sejak awal mula
sekolah, para guru bisa menghimpun para orang tua untuk ikut mencermati kemampuan, minat, bakat anaknya supaya
baik orang tua bisa berpartisipasi dalam mengarahkan anak memilih jurusan yang tepat.
Memberikan bimbingan pada anak didik untuk tetap tekun dalam masa kuliah, mampu mendorong / memotivasi diri
sendiri serta mampu melawan virus-virus kebosanan yang muncul.

Menyiapkan mental anak didik dalam berbagai bentuk latihan dan tempaan, agar mereka tidak hanya siap materi namun
juga siap mental menghadapi tekanan dan tantangan yang akan dihadapi.

Sejak awal, peran sekolah ini sangat penting karena pola pikir, minat, prestasi anak sedikit banyak dipengaruhi oleh apa
yang ia peroleh di sekolah dan juga apa yang terjadi di sekolah. Misalnya, kalau sekolah itu berkualitas dan berprestasi,
maka anak pun akan memilih yang berkualitas, bukan yang sekedarnya atau seadanya. Apalagi, kalau sekolah tersebut
perlunya kerja sama dengan lembaga pendidikan lain, atau perguruan tinggi yang berkualitas baik di dalam maupun di
luar negeri, hal ini membuat anak punya benchmark universitas maupun target pilihan jurusan yang tinggi. Jika pihak
sekolah punya standard kualitas mutu yang tinggi, maka biasanya para guru juga akan mendorong anak didik mereka
untuk mencapai target yang tinggi (berkualitas) misalnya supaya bisa diterima di beberapa perguruan tinggi yang dikenal
terbaik dalam beberapa jurusan.

Mengoptimalkan dukungan Orang Tua

Peran orang tua sangat penting dalam mendukung anak menentukan pilihan dan jalan hidup mereka. Itu sebabnya,
sering dikatakan bahwa pada saat anak tumbuh remaja, posisi orang tua bukan lagi orang tua seperti dulu tapi lebih
sebagai teman. Orang tua bisa menjadi tempat curhat dan konsultasi yang nyaman, tanpa harus cemas kalau-kalau
mereka tidak punya hak suara. Di atas telah dijelaskan dampak psikologis, akademis dan sosial kalau orang tua lah yang
menentukan pilihan tanpa melihat minat dan bakat anaknya sendiri. Apalagi, dengan referensi informasi yang mungkin
sekali lebih terbatas dari anaknya, jangan sampai orang tua merasa pendapatnya paling benar padahal pendapatnya
berdasarkan informasi yang sudah kadaluwarsa, tidak up to date lagi. Selain itu, orang tua juga perlu mengevaluasi
motivasi dan ambisi nya masing-masing, karena tanpa sadar orang tua mengarahkan anak untuk menyelesaikan
"keinginan dan ambisi tak sampainya" di masa lalu. Padahal, anak itu bukanlah parent's extension. Dipastikan saja,
bahwa pilihan anak bukanlah karena ambisi orang tua, atau karena kecemasan dan cara berpikir yang keliru dalam
mempersepsi masa depan anak. Misalnya, anak memilih jurusan sastra karena mampu dan sesuai minat, tapi tidak
disetujui orang tua karena menurut mereka, akan susah cari kerja.

Orang tua perlu memastikan saja, apa motivasi anak memilih jurusan yang dia inginkan. Mengajak anak menganalisa
motivasi dan alasan, akan lebih menguntungkan karena anak akan mencoba menerapkan cara berpikir analitis yang
serupa ketika memilih dan memilah jurusan yang lain. Ajak anak untuk mencari contoh kongkrit (orang yang sudah lebih
dahulu kuliah dan atau kerja) dari dampak salah memilih karena sebab-sebab tertentu, misalnya : pengaruh teman,
suruhan orang tua, asumsi yang keliru.

Alangkah baiknya jika orang tua bisa membantu anak mencari informasi mengenai sekolah-sekolah yang berkualitas dan
membiarkan anak melihat plus minusnya secara kongkrit. Diskusikan secara terbuka factor apa saja yang jadi potensi
kendala dan bagaimana strategi solusinya. Dengan demikian, akan tercipta komunikasi yang terbuka dan positif, anak
merasakan dukungan dan komitmen orang tua, sehingga anak pun diharapkan tergugah untuk menjaga komitmen dan
keseriusannya terhadap pilihan studinya.

Mengoptimalkan peran social network

Punya banyak teman dan luasnya jaringan sosial bisa memberikan keuntungan positif. Baik orang tua maupun anak bisa
saling bertukar informasi dengan yang lain mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan pilihan studi.Kalau mencari
sendiri butuh waktu yang lama, maka kalau saling bertukar informasi, tentu akan lebih efektif dan efisien. Namun yang
perlu diingat adalah bahwa orang tua tetap harus obyektif dan rasional, karena salah-salah jadi mudah terpengaruh dan
terikut pendapat orang yang belum tentu benar. Yang kita cari adalah informasi faktual bukan gossip-nya.

Tak dapat dipungkiri bahwa untuk memilih suatu jurusan dibutuhkan pertimbangan yang matang serta kemampuan untuk
mengenali kelebihan dan kekurangan diri. Seiring dengan eksplorasi minat dan bakat, anak pun perlu di arahkan untuk
menjadi pribadi yang bertanggung jawab atas pilihannya. Anak perlu diajarkan untuk mandiri dan mampu memotivasi diri
sendiri, disiplin, dan serius belajar sebagai perwujudan dari komitmen atas pilihan hidupnya. Jika menjumpai kendala,
tidak mudah putus asa apalagi berhenti di tengah jalan atau ganti haluan. Semoga dengan pembahasan ini dapat
memberi manfaat.

Narasi Masa Lalu

Narasi masa lalu adalah lokus politik. Di dalamnya, narasi sejarah resmi yang mengagungkan keberhasilan rezim otoriter
senantiasa berhadapan dengan narasi korban, khususnya perempuan, yang membongkar banyak mitos dan fantasi yang
diproduksi rezim.

Seperti dikatakan sejarawan Hilmar Farid dalam lokakarya mengenai historiografi Indonesia di Yogyakarta beberapa
waktu lalu, narasi korban penting untuk memahami negara otoriter dengan pembangunan yang kapitalistik dan
kemungkinan mengubahnya.

"Kecenderungannya sekarang adalah menyelesaikan krisis politik dengan potensi mereproduksi modus-modus
otoritarianisme," ujar Agung Putri, Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam). "Ketika tak ada narasi lain
dari masa lalu dan tak ada usaha menuju ke situ, hal itu akan semakin mudah dilakukan."

Narasi korban peristiwa politik, khususnya peristiwa 1965, senantiasa berhadapan dengan kelompok, yang atas nama
apa pun terus berusaha menghentikan upaya itu.

Ini memperlihatkan upaya membentuk ingatan kolektif dan proses penerimaan identitas korban senantiasa diwarnai
ketegangan dan pertentangan. Baskara T Wardaya dari Pusat Sejarah dan Etika Politik Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta menunjuk pada pelarangan buku sejarah yang tidak segaris dengan narasi resmi.

Pembakaran buku belum lama ini, menurut Ketua Komnas HAM Ifdal Kasim, juga merupakan usaha mempertahankan
penafsiran tunggal sejarah. Juga ancaman, somasi, atau apa pun bentuknya yang dilayangkan kepada pihak-pihak yang
berupaya menelusuri masa lalu guna mendapatkan gambaran yang lebih padu mengenai sejarah bangsa ini.

Gambaran yang terobek itu adalah sejarah tentang Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), yang menurut ilmuwan politik
dari Universitas Cornell, AS, Ruth McVey, dihilangkan dari sejarah Indonesia meski berbagai fakta mengungkapkan,
sebelum tahun 1965 gerakan perempuan di Indonesia termasuk yang paling progresif di dunia.

Penelitian antropolog Belanda, Saskia E Wieringa, seperti dipaparkan dalam buku Penghancuran Gerakan Perempuan di
Indonesia (1999) menyimpulkan fitnah seksual 1965-1966 tentang kastrasi terhadap para jenderal dalam "pesta harum
bunga" itu tidak hanya bohong, tetapi juga menyatakan sesuatu tentang latar belakang oposisi seksual. Atas dasar itu,
konsepsi politik—dalam hal ini lahirnya Orde baru—bisa berlangsung.

Terus bersembunyi

Kebencian dan rasa jijik terhadap para mantan anggota Gerwani yang terus dikobarkan itu menciptakan situasi dramatis
yang berlangsung begitu panjang. Korban terus berupaya menyembunyikan identitasnya, bahkan kepada anggota
keluarga. Mereka menghindar dari sorotan media. Kalaupun bersedia mengungkapkan pengalamannya, mereka harus
membungkus identitasnya dengan ketat.

Hal ini bukan tidak beralasan. Rumah kontrakan almarhumah Sulami, salah satu tokoh Gerwani, dirusak massa tak lama
setelah namanya ditulis media sehubungan dengan kunjungan istri mantan Presiden Perancis, Ny Danielle Mitterand,
tahun 2000.

Sudjinah menolak ditulis profilnya di satu harian nasional ketika kumpulan cerita pendeknya, In Jakarta Prison, Life Stories
of Women Inmates diterbitkan Yayasan Lontar tahun 2000 karena takut tetangganya tahu siapa dirinya.
Padahal, menurut Agung Putri, ia adalah pelaku sejarah yang penting, khususnya dalam proses gerakan perempuan.
Sudjinah ikut berjuang dalam perang kemerdekaan. Ia berasal dari keluarga priayi Solo dan menyelesaikan studinya di
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Sudjinah mewakili Gerwani dalam berbagai konferensi internasional, termasuk WIDF, the Women’s International
Democratic Federation. Ia kemudian menjadi penerjemah di kantor pusat karena kemahirannya menguasai berbagai
bahasa asing.

Sudjinah ditangkap setelah ketahuan menyebarkan informasi tentang apa yang dilakukan Orde Baru terhadap Bung
Karno, kemudian diadili akhir tahun 1970-an bersama empat perempuan tokoh lainnya. Ia dihukum penjara 18 tahun.
"Isolasinya delapan tahun," ujar Nursyahbani Katjasungkana, aktivis dan anggota DPR yang merasa beruntung pernah
mendengarkan kisahnya secara langsung.

"Di situ ia membuat gambar-gambar di tembok dan mengajak gambar-gambar itu bicara," sambungnya. Aktivis Ita Nadia
kehilangan kata-kata untuk menggambarkan kejinya perlakuan terhadap Sudjinah selama ditahan dan dipenjara.
Setelah keluar dari penjara, Sudjinah kembali bekerja dengan memberi kursus bahasa Inggris secara privat. "Uangnya
untuk membantu teman-temannya yang hampir semuanya hidup dalam kesulitan. Dia sebenarnya tidak harus bekerja
karena ada bantuan dari adiknya di Belanda," kenang pekerja kemanusiaan dan hak asasi manusia, Ade Rostina
Sitompul.

Sudjinah ditolak oleh keluarganya di Solo dan hidup dengan teman-temannya di panti jompo. Ia tutup usia pada usia 80
tahun tanggal 7 September 2007 di Jakarta dengan membawa sejarah yang belum selesai diklarifikasi, kebenaran dari
perspektif korban yang belum seluruhnya bisa diungkapkan, dan stigma yang terus menempel.
Kebenaran alternatif

Upaya mempertemukan perempuan korban ’65 dengan anggota Kongres Wanita Indonesia (Kowani) serta Dharma
Wanita, seperti diprakarsai Komnas Perempuan beberapa waktu lalu, juga tidak mudah. Mereka tampaknya masih
enggan berhadapan dengan para perempuan korban yang sudah sangat sepuh.

Bukan berarti upaya rekonsiliasi berhenti meski Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang
merupakan inisiatif negara sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi.

"Prakarsa-prakarsa rekonsiliasi di tingkat akar rumput seperti dilakukan teman-teman Syarikat Indonesia di Yogyakarta
dan oleh Komisi Sejarah akan menjadi alternatif dalam pencarian kebenaran masa lalu. Hanya dengan cara ini kekerasan
dan dendam bisa diputus," kata Ifdal.

Realita Teknologi dan Bisnis

Teknologi ditujukan untuk dapat meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya, dan meningkatkan keluaran (output). Namun,
harapan itu ternyata tidak selamanya sejalan dengan kenyataan. Masih ingat dengan meletusnya gelembung Internet,
pembangunan pabrik pesawat yang gagal, kegagalan beberapa implementasi 3G, dan masih banyak lagi yang lainnya.<
yang lagi banyak masih dan 3G, implementasi beberapa kegagalan gagal, pesawat pabrik pembangunan Internet,
gelembung meletusnya dengan ingat Masih kenyataan. sejalan selamanya tidak ternyata itu harapan Namun, (output).
keluaran meningkatkan biaya, mengurangi efisiensi, dapat untuk>

Dilihat dari sisi perkembangan teknologi, hal-hal di atas sebenarnya merupakan suatu perkembangan teknologi yang
cukup menarik, namun secara bisnis ternyata hasilnya berbeda. Banyak sekali faktor yang menentukan keberhasilan
implementasi teknologi, mulai dari kesiapan dan budaya masyarakat sampai pengemasan teknologi tersebut dalam
mengomunikasikannya ke pasar.

Sektor telekomunikasi seluler merupakan salah satu bidang yang mengalami perkembangan teknologi yang sangat
cepat. Jika kita perhatikan dengan kehadiran layanan yang ditawarkan oleh operator, lahirnya berbagai layanan baru
sangatlah cepat. Sementara jika kita lihat kemunculan telepon seluler di pasaran, rata-rata para pemimpin pasar telepon
seluler (ponsel) mengeluarkan 8-20 tipe ponsel baru setiap tahun.

Artinya, betapa cepatnya inovasi teknologi itu terjadi. Salah satu perkembangan teknologi di dunia seluler adalah teknologi
messaging (pengiriman pesan) mulai dari SMS (short message service), EMS (enhanced message service), dan yang
sekarang sedang gencar dipromosikan para pelaku bisnis seluler adalah MMS (multimedia message service). Hadirnya
teknologi MMS dapat dikatakan sebagai suatu revolusi teknologi messaging karena dari kondisi yang semula hanya dapat
mengirimkan pesan berupa teks, dan gambar atau nada dering sederhana, sekarang juga dapat digunakan untuk
mengirim foto, gambar bergerak, maupun nada dering yang lebih kompleks. Hal ini seharusnya direspons dengan
kreativitas yang lebih tinggi.

Teknologi MMS diharapkan dapat menggantikan posisi SMS nantinya. Namun, sepertinya hal itu akan terwujud pada saat
tarif MMS sudah murah mendekati tarif SMS, perangkat ponselnya juga sudah terjangkau bagi kalangan menengah
(berkisar Rp 1,5 juta ), dan inter-operator dapat dilakukan. Kalau total lalu lintas MMS di Indonesia (yang disediakan oleh
dua operator) berkisar 20.000 MMS per hari, maka sangat diperlukan sekali strategi untuk mendorong pemanfaatan MMS
ini agar dapat mengimbangi lalu lintas SMS yang lebih dari 15 juta per hari.

Lalu lintas MMS di atas merupakan kondisi saat ini di mana tarif MMS masih gratis sehingga hal itu sangat dimungkinkan
akan semakin turun saat dikenai tarif. Data yang dilansir Ovum, salah satu perusahaan konsultan dan survei, diperkirakan
bahwa sekitar tahun 2006 jumlah pengguna SMS dunia akan mulai menurun (dari sekitar 1.000 miliar per tahun),
sementara pengguna MMS akan naik tajam (berkisar 350 miliar pesan per tahun) pada tahun yang sama. Dan, sekitar 3-4
tahun kemudian dimungkinkan akan memiliki jumlah yang sama. Namun, apakah hal itu akan terjadi di Indonesia dalam
kisaran waktu tersebut?

Salah satu strategi yang diusulkan dalam mendorong peningkatan revenue melalui layanan MMS ini adalah dengan
menghadirkan berbagai aplikasi yang dapat memicu penggunaan MMS sehingga kita akan memiliki justifikasi bahwa
implementasi MMS ini bukan sekadar untuk menjaga gengsi saja yang pada gilirannya dapat menjadikan kita sebagai
korban teknologi. Tapi, implementasi teknologi ini memang layak dilakukan karena memang memiliki tuntutan yang tinggi.
Saat ini kita sudah dapat mendapatkan berbagai ponsel ber-MMS dengan kisaran harga Rp 1,5 juta, dan tampaknya
industri ponsel dan industri yang tergolong teknologi komunikasi dan informasi telah mencapai skala ekonominya
sehingga biaya yang timbul akan semakin murah seiring dengan perkembangan waktu. Namun anehnya tarif telepon
tetap terus naik. Dengan demikian, diharapkan tidak lama lagi akan tersedia banyak ponsel MMS yang terjangkau
masyarakat luas. Hadirnya MMS bersamaan dengan beberapa fasilitas barunya menjadikan kita dapat membuat berbagai
aplikasi yang lebih menarik.

Ada banyak aplikasi yang dapat dibangun dengan menggunakan platform MMS, antara lain aplikasi telemetri. Kalau
sebelumnya kita hanya mendapatkan informasi berupa teks jika menggunakan SMS sebagai medianya, misalnya data
temperatur mesin, sekarang dapat juga mendapatkan informasi berupa grafik mengenai perubahan temperatur dalam
periode tertentu.

MMS juga dapat dimanfaatkan untuk aplikasi monitoring. Salah satu aplikasi yang dikembangkan oleh perusahaan lokal
Jaya I-net adalah mengombinasikannya dengan kamera CCTV. Jika kamera tersebut terpasang di rumah, tempat
penitipan anak, atau jalan raya, dengan menyambungkannya pada sebuah server berupa komputer sederhana, maka
kapan pun Anda dapat mengetahui informasi keadaan rumah, kondisi anak di tempat penitipan anak, maupun kondisi lalu
lintas jalan raya yang tidak hanya berupa teks informasi, namun juga gambar atau foto yang akan dikirimkan secara
otomatis ke ponsel melalui MMS. Dan jika sedang di kantor, kita bisa mengakses server tersebut melalui jaringan Internet.
Saat ini teknologi komunikasi yang juga sedang marak adalah teknologi Wireless Fidelity atau yang sering banyak orang
kenal sebagai Wireless LAN. Di Indonesia mungkin memang baru mulai berkembang dengan munculnya beberapa lokasi
akses atau yang sering disebut Hot Spot yang kemudian dipadukan dengan teknologi seluler sebelumnya, yaitu GPRS.
Dengan demikian, pada area di luar Hot Spot orang akan menggunakan akses GPRS untuk akses Internet mereka,
namun secara otomatis akan berganti ke koneksi W-LAN begitu memasuki Hot Spot yang menawarkan kecepatan sampai
512 Kbps.

Pertanyaannya sekarang apakah pembangunan Hot Spot di banyak tempat memiliki nilai ekonomis yang menguntungkan
dan dapatkah tawaran berbagai layanan baru tersebut mendorong pertumbuhan profit? Saat ini sudah waktunya bagi kita
untuk tidak hanya memperhatikan ARPU (average revenue per user) untuk mengetahui kinerja operator, namun lebih tepat
kalau kita memperhatikan AMPU (average margin per user) karena dimungkinkan bahwa ARPU-nya naik, namun setelah
dikurangi dengan biaya yang diperlukan untuk menghadirkan layanan tersebut ternyata biayanya lebih besar dibanding
revenue yang didapat.

Begitu pula sebaliknya, jika ARPU turun apakah sudah pasti perusahaan tersebut rugi? Belum tentu! Karena
dimungkinkan terjadi akibat meledaknya pengguna kartu prabayar yang kontribusi revenue setiap penggunanya rendah.
Dan, karena jumlahnya yang banyak, maka akan mempengaruhi hasil rata-ratanya, di mana bilangan pembaginya
menjadi besar padahal dengan hadirnya teknologi tinggi, biaya implementasi menjadi turun.

Dengan demikian, sekalipun ARPU-nya rendah, namun selama masih lebih besar dibandingkan biaya rata-rata yang
dibutuhkan, operator tersebut masih akan untung. Oleh karena itu, tujuannya tidak sekadar peningkatan ARPU, misalnya
dengan cara menghadirkan berbagai layanan baru, tetapi perlu diperhatikan juga apakah biaya implementasi layanan
tersebut seimbang dengan kenaikan revenue-nya. Tampaknya kehadiran beragam layanan data yang diharapkan dapat
mendorong peningkatan ARPU, tidak menjamin peningkatan profit mereka.

Karena itu, banyaknya teknologi baru yang hadir memerlukan kecermatan dalam memilih teknologi mana yang dapat
diserap pasar. Kalau tidak, kita hanya akan tetap menjadi pasar teknologi yang empuk bagai para pemain asing dan
secara ekonomis kita tidak mendapatkan keuntungan darinya.

Apabila diasumsikan biaya investasi untuk layanan MMS sebesar 1 juta dollar AS, jika tingkat pengembalian modal
selama 5 tahun dengan tarif Rp 350, maka dibutuhkan trafik setiap harinya sekitar 15.000 MMS. Jadi, agar teknologi ini
bisa diserap oleh pasar, seharusnya MMS diberikan tarif layaknya SMS dan fokus dilakukan dengan mendorong
pertumbuhan trafik yang salah satunya melalui aplikasi. Banyaknya jumlah ponsel ber-MMS dengan harga yang terjangkau
banyak kalangan, khususnya pengguna terbesar SMS/MMS yaitu kelompok muda, maka jumlah 15.000 per hari adalah
jumlah yang sangat kecil. Dengan demikian, tidak lama lagi MMS akan dapat menggantikan SMS sebagai penghasil
revenue terbesar bagi operator setelah layanan suara.

Kemerdekaan Membangun Teknologi Informasi

HARI Kemerdekaan Ke-58 Republik Indonesia baru saja kita lalui bersama. Banyak hal yang mengingatkan dan patut
direnungkan bangsa ini selama 58 tahun perjalanan bangsa Indonesia. Kemerdekaan secara harfiah diartikan bebas dari
penjajahan, yang seharusnya penjajahan dalam bentuk apa pun.

Tidak bisa dimungkiri bangsa ini masih "terjajah" dalam banyak hal, baik dari sisi budaya, sosial, ekonomi, ilmu
pengetahuan/teknologi, maupun yang terutama tidak dapat lepas dari mental sebagai kaum terjajah. Salah satu model
yang dapat digunakan untuk mencapai sebuah "kemerdekaan" yang sesungguhnya adalah menggunakan model yang
diusulkan Prof Amartya Sen. Prof Amartya Sen (pemenang Nobel bidang ekonomi 1998) menulis sebuah buku berjudul
Development as Freedom. Intinya memuat gagasan pembangunan suatu masyarakat harus berdasarkan peningkatan
kapabilitas masyarakat itu sendiri, dan untuk meningkatkan kapabilitas masyarakat diperlukan suatu "kemerdekaan" untuk
membangun.

Ada lima tolok ukur (instrumen) "kemerdekaan" atau kebebasan yang dapat dijadikan landasan dan mempunyai arti yang
nyata dalam proses pembangunan, yaitu kebebasan politik, fasilitas perekonomian, kesempatan sosial, jaminan
transparansi, dan perlindungan keamanan.

Pertama, kebebasan politik merujuk pada kesempatan masyarakat untuk menentukan siapa yang layak untuk memerintah
dan atas dasar apa, serta kebebasan untuk mengutarakan pendapat, dan pers yang tidak disensor untuk menikmati
"kemerdekaan". Kedua, yang dimaksud dengan fasilitas perekonomian adalah kesempatan yang dipunyai tiap individu
untuk menggunakan sumber-sumber (resources) untuk berbagai keperluan, seperti konsumsi, produksi, dan pertukaran
(inter exchange). Ketersediaan dan akses ke lembaga keuangan akan menjadi titik kritis yang harus diamankan
pemerintah. Ketiga, kesempatan sosial merujuk pada perencanaan yang baik bagi masyarakat untuk mendapatkan akses
pendidikan, kesehatan, dan sebagainya, yang membuat pengaruh pada tiap individu mendapatkan kualitas hidup yang
lebih baik. Keempat, jaminan transparansi, pada suatu kondisi sosial terjadi interaksi dari satu individu dengan individu
lainnya. Dalam interaksi terjadi suatu kesepakatan antarindividu. Oleh sebab itu, jaminan terhadap
kemerdekaan/kebebasan harus dijamin oleh para individu. Apabila ini dilanggar, tidak akan ada lagi keterbukaan dan ini
dapat berakibat fatal bagi individu atau masyarakat lain. Dan kelima, perlindungan keamanan perlu dilakukan untuk
menyediakan suatu jaring pengaman sosial untuk mempersiapkan apabila terjadi kondisi sosial di luar rencana seperti
yang terjadi pada krisis bangsa Indonesia tahun 1997. Secara umum, Prof Sen lebih menekankan pada think capabilities,
not commodities.

APABILA dianalogikan kriteria Prof Sen dalam serangkaian kehidupan teknologi informasi (TI) di Indonesia, maka satu per
satu dapat dijelaskan dengan melihat kondisi per-TI-an sejak tahun 1998 hingga tahun 2003, di mana proses reformasi
membuat perubahan signifikan pada bangsa Indonesia. Tahun 1998, pengguna Internet di Indonesia hanya 512.000
orang (http://www.apjii.or.id/dokumentasi/statistik.php?lang=ind) dan setiap tahun meningkat hampir dua kali lipat hingga
tahun 2003 tercatat tidak kurang dari 7,5 juta pengguna Internet di Indonesia.

Adanya kebebasan dalam bernegara (politik) membuat dampak yang luar biasa pada peningkatan pengguna Internet di
Indonesia. Masyarakat membangun sendiri (swadaya) infrastruktur TI di Indonesia (contoh kasus pembangunan jaringan
Internet mulai dari wireless LAN hingga pengembangan perangkat lunak), di mana pada zaman Orde Baru sulit
dilaksanakan karena tidak adanya "kemerdekaan/kebebasan" politik.

Pemerintah harus terus membuat kebijakan politik dalam dunia TI yang dapat dipertanggungjawabkan pada masyarakat
dan masyarakat dapat menuntut apabila secara politis dirugikan oleh suatu peraturan yang kontradiktif dengan proses
pembangunan. Tolok ukur kedua-fasilitas perekonomian-adalah di mana salah satu fasilitas TI yang membuat tumbuhnya
perekonomian di Indonesia adalah adanya warnet (warung Internet), yang jumlahnya tidak kurang dari 3.000, yang
tersebar di Indonesia (http://nut.natnit. net/warnet/).

Warnet-warnet tersebut membuat akses masyarakat pada Internet dan TI menjadi mudah dan murah, yang membawa
dampak besar bagi perekonomian. Data terakhir di APJII (http://www.apjii.or.id) tidak kurang dari 600 Mbps total bandwith
jaringan Internet yang telah digunakan di Indonesia.

Pengusaha warnet yang kebanyakan terdiri dari individu ini perlu ditopang juga dengan fasilitas reduksi biaya perangkat
lunak (bagi yang menggunakan produk-produk keluaran Microsoft). Dengan demikian, warnet akan dapat berkembang
lebih baik dan membuat kebutuhan (demand) akan informasi bertambah terus.

TOLOK ukur ketiga-kesempatan sosial-secara umum TI di Indonesia berkembang cukup pesat karena pengguna Internet
rata-rata berpendidikan perguruan tinggi. Ini sejalan dengan fenomena Internet yang awalnya muncul dari perguruan tinggi
dan meluas penggunaannya ke komersial.

Saat ini Internet tidak hanya dinikmati kalangan perguruan tinggi, tetapi juga siswa sekolah dasar. Oleh sebab itu, sangat
penting peningkatan fasilitas sosial, terutama yang berkaitan dengan pendidikan, dan pemerintah mempunyai peranan
penting dalam memberikan fasilitas sosial ini.

TOLOK ukur keempat-jaminan transparansi-dalam suatu interaksi sosial (apa pun bentuknya), maka faktor yang paling
utama adalah kepercayaan. Salah satu dampak baik adanya Internet adalah tingkat kepercayaan yang tinggi antara satu
individu dan individu lainnya.

Sebagai contoh, suatu ketidakjujuran dapat diketahui khalayak ramai dengan cepat melalui mailing list (milis) di Internet.
Pengguna Internet di Indonesia banyak menggunakan milis yahoogroups (@yahoogroups.com) untuk berdiskusi, bertukar
informasi, reuni, dan lain lain. Anggota suatu milis bisa bervariasi, antara tiga orang sampai dengan ribuan orang. Jika
salah seorang anggota melakukan suatu kecurangan terhadap individu lain, informasi tersebut akan tersebar dengan
cepat.

Oleh karena itu, individu di Internet harus jujur dalam mengemukakan sesuatu hal. Salah satu dampak positif Internet
adalah dapat menjaga transparansi antarindividu. Transparansi ini akan dapat mengikis korupsi dan berbagai hal negatif
yang merugikan masyarakat.

Tolok ukur kelima-perlindungan keamanan-dapat juga diartikan sebagai jaring pengaman sosial, sesuatu yang belum
dilakukan secara signifikan hingga Hari Kemerdekaan yang ke-58 republik ini.
Melihat fakta-fakta di atas, penguatan terhadap kelima instrumen atau tolok ukur harus terus ditingkatkan oleh masyarakat,
legislatif, dan pemerintah. Dari kelima tolok ukur tersebut, tolok ukur kelima relatif belum dipikirkan secara nyata oleh
pemerintah. Penggunaan model SSN (social security number) seperti di AS, misalnya, harus mulai dipikirkan secara
serius oleh pemerintah.

Ulang tahun ke-58 bangsa Indonesia seharusnya dapat dijadikan momen untuk keluar dari unfreedom dan kembali ke
cita-cita freedom bangsa Indonesia, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan salah satunya adalah melalui
teknologi informasi, dengan mengusung tema Ekonomi Internet untuk meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia.

Sentra Teknologi

KETIKA orang-orang mulai sibuk membicarakan masalah cetak biru pengembangan teknologi komunikasi informasi di
Indonesia, muncul berbagai macam gagasan untuk mendorong kemajuan penggunaan teknologi yang sekarang terasa
terseok-seok jalannya. Jadi, sinyalemen yang menyebutkan kalau tidak ada terobosan maka Indonesia akan menjadi
pengguna dari teknologi yang masuk, bisa jadi merupakan kenyataan yang menyedihkan.

Ada juga yang berbicara tentang warung Internet (warnet) untuk dijadikan sebagai katalisator kemajuan teknologi
informasi. Tetapi kalau kita merenungkan sejenak apa yang telah dihasilkan dengan kehadiran warnet selama ini, bisa
jadi kita akan malu sendiri.

Banyak di antara kita tentunya yang masih ingat berbagai kasus carding yang terjadi beberapa tahun terakhir ini, yang
menyebabkan seluruh transaksi dengan menggunakan kartu kredit asal Indonesia di jaringan Internet tidak bisa
digunakan sama sekali. Carding pada umumnya dimulai dari berbagai warnet yang tersebar di mana-mana.Di sisi lain,
karena berkurangnya peminat orang- orang yang mengunjungi warnet, maka kebanyakan aktivitas pengguna teknologi
informasi sekarang ini beralih menjadi game center yang menawarkan jasa permainan online, seperti Ragnarok atau
Gunbound yang saat ini sangat populer menggantikan permainan first person shooting. Tidak ada yang salah dengan
game center ini. Karena memang usaha warnet membutuhkan pemasukan yang pasti untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya.

Selain itu, memainkan berbagai permainan digital adalah persinggungan kita yang paling awal untuk menjelajah manfaat
teknologi komunikasi informasi selanjutnya. Karena itu, kita pun harus menyambut kehadiran berbagai game center dan
tempat-tempat penyewaan permainan digital lainnya seperti tempat-tempat penyewaan PlayStation yang menyebar di
mana-mana. Jadi untuk menggalang warnet ke dalam suatu wadah, gagasan yang muncul di tengah- tengah
kebingungan kita mencari jati diri menghadapi derasnya perangkat teknologi yang masuk ke Indonesia dan perubahan
drastis kemajuan teknologi menjadi upaya pemborosan. Karena sekarang ini telah banyak wadah organisasi teknologi
komunikasi informasi yang ada dan tidak banyak membantu perkembangan teknologi di Indonesia.

Kita sering kali lupa kalau teknologi komunikasi informasi tersebut selalu memiliki proses pembelajaran yang sangat
insentif. Itu sebabnya, semua ragam teknologi di pasaran mulai dari telepon genggam, komputer, televisi, dan sebagainya
memiliki buku petunjuk yang mengantar penggunanya untuk menjalankan teknologi tersebut secara benar.
Oleh karena itu, pemberdayaan teknologi di Indonesia seyogianya dimulai di sekolah-sekolah, tempat di mana proses
belajar mengajar berlangsung. Memang, persoalannya tidak cukup melalui pendanaan yang dialokasi pemerintah untuk
mengisi sekolah-sekolah dengan teknologi ini.

Jadi yang diperlukan sekarang adalah upaya bersama untuk menjadikan sekolah-sekolah sebagai sentra teknologi
Indonesia sebagai sebuah upaya terarah untuk membangkitkan kreativitas digital anak-anak sekolah kita. Secara gotong
royong, baik kita, para importir (dengan memberikan komputer yang tidak dipakai atau menyisihkan dana keuntungannya
sebesar setengah persen), dan semua pihak yang berkepentingan, niscaya dalam kurun waktu lima tahun ke depan,
kehidupan berteknologi dan digitalisasi akan lebih baik. Semoga! (*)

Nanoteknologi, Antara Impian dan Kenyataan

Sudah menjadi rahasia umum bahwa negara-negara maju di dunia, seperti Amerika Serikat, Jepang, Australia, Kanada
dan negara-negara Eropa, serta beberapa negara Asia, seperti Singapura, Cina, dan Korea tengah giat-giatnya
mengembangkan suatu cabang baru teknologi yang populer disebut Nanoteknologi. Milyaran dollar dana mulai dikucurkan
di negara-negara ini, di berbagai bidang penelitian. Semuanya berlomba-lomba menggunakan kata kunci Nanoteknologi.
Sebenarnya apa itu nanoteknologi? Dan mengapakah begitu banyak peneliti di berbagai negara berlomba-lomba
memasuki bidang yang satu ini? Seberapa luaskah ruang lingkupnya? Mengapakah baru beberapa tahun ini terjadi boom
nanoteknologi?

Sesuai dengan namanya, nanoteknologi adalah teknologi pada skala nanometer, atau sepersemilyar meter. Untuk dapat
membayangkan dimensi nanometer, bisa kita ambil contoh dari tubuh kita sendiri.
Sehelai rambut manusia kira-kira memiliki diameter 50 mikrometer. Satu mikrometer sendiri adalah seperseribu
milimeter. Dan satu milimeter adalah ukuran satuan panjang terkecil pada penggaris tulis 30 cm yang biasa dipakai
anak-anak sekolah. Dan satu nanometer adalah seperseribu mikrometer, atau kira-kira sama dengan diameter rambut
kita yang telah dibelah 50.000 kali!! Sebagai perbandingan lain, ukuran sel darah merah kita adalah sekitar 20 mikro
meter, dan sel bakteri perut adalah 2 mikro meter. Protein memiliki ukuran beberapa puluh nanometer.

Dari sudut pandang ukuran atas ke bawah (top-down) seperti itu, nanoteknologi menjadi penting dalam dunia rekayasa
karena manusia berusaha untuk mengintegrasikan suatu fungsi atau kerja dalam skala ukuran yang lebih kecil dan lebih
kecil. Mengapa? Orang bilang, "small is beautiful (kecil itu indah)", tetapi, tentu saja mengintegrasikan suatu fungsi mesin
atau perkakas dalam ukuran yang lebih kecil bukan hanya berarti memperindahnya tapi juga berarti memperkecil energi
yang diperlukan per suatu fungsi kerja dan berarti pula mempercepat proses serta mempermurah biaya pekerjaan.

Sebagai contoh yang mudah kita pahami adalah apa yang terjadi pada dunia komputer dan mikroprosesor. Pabrik-pabrik
mikroprosesor seperti IBM, Intel dan Motorola terus berusaha mempertinggi tingkat integrasi mikroprosesornya.
Sekira sepuluh sampai lima belas tahun yang lalu, jarak antar gate (gerbang) MOS (Semikonduktor oksida logam) adalah
0,75 m, dan level integrasinya pada 5P 80386 hingga 80486 adalah sekira 100.000 sampai 1 juta transistor dalam satu
chip. Tapi, pada Pentium IV, teknologi pemrosesan IC (rangkaian terintegrasi) yang dipakai telah berhasil memperkecil
jarak antar gerbang menjadi hanya 0,125 m dan mencapai level integrasi hingga 100 juta transistor dalam satu keping
chip.

Jarak yang lebih kecil antar gerbang berarti makin kecilnya waktu yang diperlukan untuk perjalanan suatu elektron (artinya
switching rate makin cepat) dan berarti pula makin kecilnya daya yang diperlukan prosesor tersebut. Lebih dari itu, makin
banyak fungsi yang bisa diintegrasikan dalam prosesor tersebut, seperti built-in multimedia, pemrosesan suara, dan lain
sebagainya.

Selain itu, teknologi pemrosesan IC ini mulai digunakan pula untuk mengintegrasikan fungsi-fungsi mekanik dan elektrik
untuk membuat mesin, sensor atau aktuator pada ukuran milli, mikro, hingga nanometer. Struktur mikro yang
mengintegrasikan fungsi mekanik dan elektrik inilah yang biasa disebut Micro Electro Mechanical System (MEMS).
Sebagai contoh teknologi MEMS memungkinkan pembuatan array sensor tekanan yang berukuran demikian kecil
(Gambar 1) hingga dapat ditaruh di mana saja di suatu struktur bangunan atau mesin, misalnya.
Namun, apakah nanoteknologi hanya berkutat dengan rekayasa IC dan mikroelektronika yang kemudian diterapkan pula
untuk mikromekanika? Jika hanya demikian apakah perlunya terminologi ini demikian digembar-gemborkan akhir-;akhir
ini?

Ternyata memang nanoteknologi yang kini tengah booming tidak hanya terkait dengan rekayasa konvensional top-down IC
atau MEMS. Semuanya ini bermula dari pidato ilmiah pemenang Nobel, Richard Feynman tahun 1959, yang berjudul
"There is plenty room at the bottom" (Ada banyak ruang di bawah), yang kini banyak dikutip para peminat nanoteknologi.
Saat itu Feynman mengatakan, adalah mungkin (setidaknya saat itu masih dalam impian) untuk membuat suatu mesin
dalam ukuran demikian kecil, yang kemudian dapat digunakan untuk memanipulasi material pada skala ukuran tersebut.
Bahkan, saat itu Feynman menyatakan pula, seandainya seorang fisikawan dibekali "mesin" yang tepat untuk
memanipulasi atom dan menaruhnya pada tempat yang sesuai, maka ia secara teoritis dapat membuat senyawa atau
molekul apa saja, tentu saja yang stabil energinya (stabil = level energi minimum).

Sistem seperti itu, sekalipun bukan pada level atom, setidaknya telah ada di alam, sebagaimana telah ditulis pula oleh K.
Eric Drexler dalam landmark papernya tahun 1981, dan mengenalkan istilah molecular manufacturing (manufaktur
molekular). Dalam karya tulisnya tersebut, Drexler memberikan beberapa contoh, betapa mesin-mesin berukuran
nanometer telah ada di alam dan bagaimana mereka telah terlibat dalam penyusunan molekul dan informasi dalam sel
makhluk hidup. Misalnya, ribosom yang menyusun asam amino satu demi satu berdasarkan informasi RNA, untuk
memfabrikasi protein, kemudian sistem genetika (enzim-enzim DNA polymerase, RNA polymerase, dll) yang menyimpan
dan mengolah informasi genetik, flagella (semacam struktur 'rambut') pada bakteria sebagai motor penggerak, dan lain
sebagainya.

Kemampuan untuk memanipulasi material pada skala nanometer adalah penting, sebab pada skala ukuran inilah
material mulai membentuk sifat-sifat tertentu berdasarkan strukturnya. Pada level yang lebih kecil, level atomik (skala
Angstrom), sifat yang dimiliki adalah sifat dasar atom itu sendiri. Ketika atom mulai bergandeng satu sama lain dan
menyusun struktur molekular tertentu, sifatnya pun akan berbeda menurut struktur tersebut. Misalnya, atom Karbon (C),
yang ketika tersusun dalam struktur tetrahedron tiga dimensi akan membentuk intan yang keras, tetapi ketika tersusun
dalam struktur heksagonal dua dimensi dan membentuk lapisan-lapisan, maka yang kita dapati adalah grafit (bahan baku
pensil) yang rapuh.

Nanoteknologi manufaktur molekular diarahkan pada pengembangan metoda (misal berupa 'mesin' berukuran
nanometer) yang dapat melakukan penyusunan atom atau molekul komponen tersebut secara teratur dan terkendali untuk
membentuk struktur yang diinginkan. Model fabrikasi material bawah ke atas (bottom-up) yang berlawanan dengan
teknologi top-down konvensional seperti ini akan memungkinan pengontrolan yang amat presisi sifat material yang
terbentuk (misalnya bebas defek/cacat).

Selain itu mengurangi timbulnya limbah saat fabrikasi karena hanya atom/molekul yang akan dipakai saja yang
dimanipulasi (berbeda dengan metode atas-bawah yang kerap menimbulkan limbah akibat adanya material yang tak
terpakai), dan tentu saja kemungkinan penghematan energi yang juga berarti penghematan biaya. Sistem fotosintesis
pada tanaman misalnya adalah suatu contoh sistem manufaktur molekular dengan efisiensi energi yang tinggi.
Masalahnya kemudian, bagaimanakah komponen atom atau molekul tersebut dapat disusun? Seperti juga pendekatan
ribosom pada sel, Drexler mengusulkan dibuatnya "lengan-lengan" robot dan komponen mesin lainnya berukuran nano
yang memungkinkan untuk melakukan proses-proses layaknya fabrikasi pada level makro: sortir material, konversi energi,
penempatan material, dll.

Metode ini disebut Mekanosintesis, melakukan sintesis kimia secara mekanis. Beberapa struktur mesin ukuran nano
(yang dibentuk dari beberapa ribu hingga juta atom) telah berhasil disimulasi dengan komputer, yang berarti secara
matematis dan fisis mungkin untuk dibuat. Sebagai contoh adalah dinding ruang berisi bahan material dan rotor pompa
yang berfungsi memilih secara selektif atom Neon (Ne) untuk siap dipakai pada proses selanjutnya (Gambar 2).
Masalah berikutnya, seandainya struktur seperti itu memang "mungkin" (baca: stabil secara termodinamis) untuk dibuat,
bagaimanakah proses untuk membuat struktur-struktur awal yang akan digunakan sebagai mesin-mesin untuk fabrikasi
nano berikutnya? Dan dari manakah energi penggerak mulanya?

Beberapa alternatif telah mulai diusulkan dicoba untuk mengatasi masalah pertama. Nadrian Seeman mencoba untuk
membuat struktur-struktur dasar tersebut dari molekul DNA (asam deoksiribonukleat, senyawa dasar gen) dengan
mengandalkan sifat swa-rakit (self-assembly) dari DNA, yaitu Adenin berikatan dengan Thymin dan Guanin berikatan
dengan Cytosin.

Dengan mensintesis DNA dengan deret tertentu, Seeman berhasil membuat bentuk-bentuk dasar kubus dan devais
nanomekanik DNA. Peneliti lain di NASA Ames Research Center mensimulasi penggunaan Tabung Nano Karbon (suatu
struktur atom karbon berbentuk tabung berdimensi nanometer yang disintesis dengan prinsip swa-rakit dari karbon,
menggunakan katalis logam tertentu) untuk membentuk gir dan poros mesin. Struktur gir atau poros bisa dibuat dari
tabung nano karbon dengan reaksi kimia tertentu untuk "menempatkan" gugus molekul kimia berbentuk roda (misal
benzena) di sekeliling tabung (Gambar 3).

Cara lain untuk menyusun komponen atom atau molekul pada tahap awal ini adalah dengan menggunakan instrumen
nanoteknologi, seperti Mikroskop Gaya Atom (Atomic Force Microscope, AFM), dan Mikroskop Pemindaian Terobosan
Elektron (Scanning Tunneling Microscope, STM). Prinsip dasar kedua mikroskop tersebut adalah seperti menggerakkan
"tangan peraba" dalam koordinat x-y, sambil mempertahankan jarak (koordinat z) antara "tangan peraba" dengan sampel
yang dipelajari (Gambar 4).

Disebut "tangan peraba" karena memang mikroskop-mikroskop ini tidak lagi memakai cahaya sebagai alat pencitraan
akibat keterbatasan cahaya pada skala nanometer (adanya efek difraksi cahaya). AFM mendeteksi gaya non kovalen (non
ikatan kimia, seperti gaya elektrostatik dan gaya Van der Waals) antara sampel dengan "tangan peraba", sedangkan STM
mendeteksi terobosan elektron dari "tangan peraba" yang menembus sampel dan diterima suatu detektor di bawah
sampel.

Mula-mula memang instrumen-instrumen ini terbatas hanya digunakan untuk keperluan karakterisasi atau 'pencitraan'
sampel. Tapi, belakangan ini, mulai pula digunakan untuk memanipulasi molekul dan atom. Dengan mengubah besar
arus terobosan pada STM misalnya, kita bisa mengambil atom O dan mereaksikannya dengan molekul CO untuk
membentuk molekul CO2 dan semuanya ini dilakukan dengan presisi molekul tunggal. Pada reaksi kimia biasa,
diperlukan cukup banyak komponen molekul yang bereaksi untuk memungkinkan, secara statistik, terjadinya "tumbukan"
antar molekul tersebut.

Berkenaan dengan masalah suplai energi struktur mesin pada skala nano, Prof. Montemagno di University of California at
Los Angeles telah berhasil mencoba menggunakan bio-nanomotor alami F1-ATPase untuk menggerakkan propeler yang
dibuat dengan teknologi MEMS. Bernard Yurke di Bell Labs. menggunakan DNA untuk mencoba membuat nano-motor.
Alternatif lain yang mungkin adalah mengkombinasikan nanoteknologi atas-bawah MEMS dengan nanoteknologi
bawah-atas. Motor elektrik dan pembangkit energi (misal baterai lapisan tipis) pada skala mikrometer dengan teknologi
MEMS telah banyak dilaporkan. Berikutnya tinggal mentransmisikan gerak dari motor tersebut ke struktur "lengan" robot
pada skala yang lebih kecil - nanometer.

Impian nanoteknologi untuk dapat memanipulasi bahan dengan tingkat fleksibilitas sama dengan yang telah dicapai
manusia dalam memanipulasi data dengan teknologi informasi, mungkin masih terasa jauh dan masih banyak pekerjaan
rumah yang harus dilakukan. Namun, dalam perkembangannya yang masih muda saat ini pun, nanoteknologi telah
memberikan warna baru dalam bidang-bidang lain.

Penerapan nanoteknologi dalam bioteknologi analitis misalnya memungkinkan metode-metode baru yang jauh lebih
sensitif dan stabil dibandingkan metode konvensional. Perkembangan MEMS, yang sekalipun berangkat dari teknologi
konvensional IC, masih berlangsung demikian pesat, dengan adanya aplikasi-aplikasi baru dalam optik (muncul MOEMS -
Micro Optical Electro Mechanical System), dalam sistem sensor terintegrasi nir-kawat, dan juga dalam aplikasi RF (Radio
Frequency)-MEMS.

Pada pengembangan nanoteknologi inilah demikian terasa, betapa latar belakang ilmu dan teknologi yang multi disiplin
sangat diperlukan: matematika untuk pemodelan, fisika untuk pemahaman fenomena-fenomena gaya dan energi, kimia
(anorganik maupun organik) untuk pemahaman sifat material, serta biologi untuk pembelajaran sistem-sistem rekayasa
pada makhluk hidup.

Selain itu kreativitas dan daya kreasi yang tinggi sangat diperlukan untuk menemukan terobosan teknik dan metoda baru,
serta aplikasi yang cocok. Tentu saja keluhuran moral dan agama tetap diperlukan agar penerapan teknologi ini tidak
malah merugikan keberlangsungan hidup ummat manusia.

Kearifan Teknologi

Mengapa ilmu yang sangat indah ini, yang menghemat kerja dan membuat hidup lebih mudah, hanya membawa
kebahagiaan yang sangat sedikit? Ilmu yang seharusnya membebaskan kita dari pekerjaan yang melelahkan spiritual
malah menjadikan manusia budak-budak mesin. Jawaban yang sederhana adalah karena kita belum lagi belajar
bagaimana menggunakannya secara wajar. (Albert Einstein)

Ketika The Little Boy dan The Fat Man, dua bom atom AS, membubungkan cendawan merah di langit Kota Hiroshima dan
Nagasaki tepat 59 tahun lalu yang diperingati pekan lalu, siapa pun akan miris membayangkannya. Wajah murka
teknologi tampil beringas.

Sorotnya bukan cuma telah membumihanguskan kota logistik nan cantik Hiroshima, melainkan juga menebarkan
paparan radiasi tinggi kepada penduduknya. Lalu ribuan orang mati terpanggang dan terkena efek somatik-genetik radiasi
pengion.

Kemanusiaan kita pasti menyesalkan tragedi itu. Namun, seberapa jauh kita bisa belajar dari peristiwa ini, menyikapi
sains dan teknologi secara arif? Ini adalah pekerjaan rumah kita.

Sains dalam praksis

Pasalnya, sains telah berkembang dengan sangat pesat. Ia yang semula terikat pada spiritualitas, terus bergeser ke arah
praksis. Sains yang awalnya lebih merupakan aktivitas mental primum vivere, deinde philosophari (berjuang dulu untuk
hidup baru setelah itu berfalsafah) telah menjelma dalam praksis sebagai "penjelas" (explain) dan "peramal" (predict)
fenomena alam.

Namun, tonggak praksis sains yang paling menonjol adalah apa yang terjadi dalam Revolusi Industri melalui penemuan
mesin uap (1769) oleh James Watt. Mimpi Francis Bacon dalam bukunya The New Atlantis sebagai negara yang sarat
hi-tech mewujud. Menurut Capra dalam The Turning Point, "sejak Bacon, tujuan sains berubah menjadi pengetahuan yang
dihambakan untuk menguasai dan mengendalikan alam, yakni untuk tujuan-tujuan yang antiekologis" (F Capra, 1997).

Bagaimana dahsyatnya revolusi yang mengawali era modern itu digambarkan Peter Gay dalam Age of Enlightenment,
bahwa betapa para pengusaha pabrik baru tanpa kekangan hukum dan etika bergerak dengan penuh kekejaman dan
tanpa norma kesusilaan. Mereka mempekerjakan anak-anak selama 14, 16, atau 18 jam per hari. Buruh terpaksa
menerima peraturan-peraturan kejam, sedangkan hukuman bagi yang melanggar sangat keras dan bengis (Peter Gay,
1966).

Akhirnya gerakan Luddite pada tahun 1811 meledak dan menghancurkan mesin-mesin industri. Karenanya kenangan
yang paling kuat atas masa itu bukanlah pada aplikasi sains termodinamika dan teknologi mesin uap itu sendiri, tetapi
pada kenyataan bahwa James Watt telah mengubah struktur masyarakat petani dan bangsawan Inggris serta
membelahnya menjadi kaum buruh-proletar dan majikan-borjuis yang saling bermusuhan, serta memunculkan tokoh
sebesar Karl Marx.

Ketika Soddy menemukan fenomena pembelahan inti (nuclear fission) atau Enrico Fermi merancang reaktor pertama di
bawah stadion sepak bola Universitas Chichago, tak ada gegap gempita yang membahana. Namun ketika Manhattan
Project mengincar plutonium dari Reaktor B di Hanford Site, Nevada, beserta instalasi pengayaan uranium-235 untuk The
Little Boy dan The Fat Man, maka tatanan global pun berubah. Bukan saja masyarakat Jepang yang kental dengan
semangat Bushido dan rela mati demi kaisar berubah menjadi manusia-manusia individualis yang memandang miring
Tenno Heika (kaisar), Kimigayo (lagu kebangsaan), dan Hinomaru (bendera nasional), bahkan nuklir telah mengubah
struktur kekuatan politik-ekonomi global pasca-Perang Dunia II.

Perubahan cepat

Kini gerak perubahan itu semakin cepat. Pertama, jarak yang semakin pendek antara penemuan sains dengan aplikasi
teknologi. Dalam fisika atom, misalnya, dulu orang meneliti sama sekali tidak dengan maksud memperoleh sumber
energi baru, tetapi lebih pada rasa ingin tahu tentang struktur terkecil materi. Namun, setelah ditemukan fenomena
pembelahan inti, maka fisika atom sudah menjadi teknologi.

Artinya, semakin lama jarak antara penemuan sains dan produk teknologi semakin pendek. Di masa lalu selang waktu itu
puluhan tahun, akibatnya sains masih menjadi domain publik meskipun teknologinya menjadi rahasia dagang yang
diperjualbelikan. Namun, sekarang, selang waktu itu menyusut menjadi tahunan saja karena konsentrasi pemikiran dan
komunikasi supercanggih antarsaintis. Akibatnya, sains pun menjadi rahasia dagang.
Kedua, perubahan posisi pusat-pusat keunggulan sains dan teknologi. Pusat-pusat keunggulan yang semula berada di
universitas ini telah berpindah ke lembaga riset pemerintah. Kemudian dengan semakin pendeknya selang antara
penemuan sains dan teknologi, tajamnya persaingan dagang, serta nilai tingginya nilai ekonomis penemuan sains, posisi
ini diambil alih perusahaan.

Terjadi pergeseran paradigma (techno-paradigm shift) di mana SDM menjadi modal utama perusahaan-bukan perangkat
fisik lainnya-dan perusahaan pun bukan sekadar memproduk barang dan jasa, tetapi pemikiran. Bahkan, dalam banyak
perusahaan manufaktur Jepang, investasi dalam riset jauh lebih besar daripada investasi untuk modal dan berubah dari
tempat untuk memproduksi barang menjadi tempat untuk berpikir (Fumio Kodama, 1995).

Fenomena ini tampak pula pada industri di Silicon Valley seperti Apple Computer, Intel, Hewlett-Packard, Xerox, Lucent
Technology, dan IBM. Bahkan model technology-belts seperti Silicon Valley digandrungi banyak negara seperti Tsukuba
(Jepang), Hsinchu (Taiwan), industri kimia di Basel, Swiss, atau Puspiptek, Serpong. Artinya, perusahaan telah menjadi
center of excellence pengembangan sains dan teknologi.

Dengan demikian, semakin hari sains dan teknologi makin terintegrasi dan tunduk pada mekanisme pasar. Riset akan
lebih bersifat market driven ketimbang academic driven. Bila demikian, bersama globalisasi, korporasi multinasional
(MNC) dapat mendiktekan teknologi asing pada suatu negara. Ini harus diwaspadai karena mereka, menurut Stuart Sim
dalam Nirmanusia, adalah kapitalis lanjut yang nafsunya tiada berujung untuk melakukan ekspansi dan inovasi teknologi
untuk melenyapkan moralitas kemanusiaan (Sim, 2001).

Karenanya perlu perlawanan terhadap nirmanusia, yakni ambruknya kemanusiaan yang dirancang oleh teknologi maju.
Manusia perlu menentang segala solusi yang nirmanusiawi yang didukung oleh kekuatan-kekuatan "tekno-sains", yakni
teknologi plus sains, plus kapitalisme lanjut, dan korporasi-korporasi multinasional.

Inilah awal tragedi seperti Minamata, Bhopal, Chernobyl, atau kasus Buyat yang baru-baru ini merebak. Fenomena ini
perlu dicermati karena kekuatan investasi berhasil mendiktekan munculnya regulasi semacam UU Sumber Daya Air dan
UU Penambangan di Kawasan Hutan Lindung atau memenangkan Pemda DKI terhadap KLH-dalam kasus reklamasi
pantura-yang ujung- ujungnya memarjinalkan kualitas ekologis kita.

Sejarah memperlihatkan, sains dan teknologi tidak serta-merta membawa kebahagiaan dan membuat hidup lebih
mudah. Penyelewengan teknologi telah menjungkirbalikkan nilai manfaat itu. Karenanya teknologi secara aksiologis perlu
dikendalikan etika manusiawi agar penyesalan Einstein di atas menjadi bermakna. Perlu adanya suatu kearifan teknologi,
yakni kearifan bagaimana menggunakan teknologi secara wajar agar ia membawa berkah, bukan bencana.
Inilah yang perlu direnungkan saat memperingati tragedi Hiroshima-Nagasaki.

Followers

Club Cooee
rachmanda by Informatika